KOMPAS/MUSTHAFA ABD RAHMAN
Jumat, 19 Juni 2009 | 07:18 WIB
MAGELANG, KOMPAS.com--Peneliti dari "The Wahid Institute" Jakarta, Abdul Mogsith Gazali mengatakan, Islam yang terbuka terhadap kearifan lokal relatif cocok untuk dikembangkan di Indonesia yang plural.
Hal itu dikemukakan Mogsith di Magelang, Kamis (18/6), saat bedah buku "Ilusi Negara Islam" di kompleks Pondok Pesantren (Ponpes) Asrama Perguruan Islam (API) Tegalrejo, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Dalam acara yang juga menampilkan pembicara pengasuh Ponpes API, KH Muhammad Yusuf Chudlori (Gus Yusuf) dengan kurator diskusi Mohamad Guntur Romli, ia mengatakan Pancasila sebagai dasar negara dan NKRI sudah sesuai dengan ajaran Islam.
Kalangan kiai Nahdlatul Ulama (NU), kata Moqsith, sepakat Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam. "NU sepakat tidak perlu negara Islam, nilai Pancasila tidak menyimpang dari Islam," katanya.
Ia juga mengatakan, reformasi yang mendorong perkembangan demokrasi di Indonesia telah melahirkan relatif banyak varian pemikiran.
Berbagai pemikiran itu disebut Mogsith sebagai pasar raya pemikiran. "Pikiran yang tumbuh di Indonesia beraneka ragam termasuk hal yang aneh seperti deklarasi seseorang sebagai nabi, salat sambil bersiul, salat di masjid berkeramik tidak sah, orang melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam," katanya.
Menurut dia, munculnya berbagai pemikiran termasuk tentang Islam itu sebagai ujian bagi pemikiran dasar tentang politik moral oleh para ulama NU pada masa lalu. "Namun menurut NU, Pancasila dan NKRI sebagai keputusan final," katanya.
Sementara itu, Mohamad Guntur Romli mengatakan, NKRI dengan dasar Pancasila merupakan konsensus seluruh elemen bangsa pada masa lalu.
Konsensus itu, katanya, menunjukkan bahwa Indonesia bukan negara Islam meski penduduknya mayoritas beragama Islam.
"Elemen-elemen yang terlibat dalam pembentukan NKRI berasal dari ormas Islam seperti NU, Muhammadiyah, kalangan Arab. Ormas-Islam tersebut tidak alergi dengan istilah kebangsaan," katanya.
Guntur yang juga pembawa acara "talkshow" bertajuk "Kongkow Bareng Gus Dur" (Mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid) di Kantor Berita Radio (KBR) 68H Jakarta itu, mengatakan, RI bersama Pancasila, UUD 1945, dan demokrasi merupakan prinsip yang wajib dipertahankan.
"Inilah warisan yang tak ternilai dari para leluhur kita, khususnya tokoh dan ormas Islam. Bukan berlebihan kalau dikatakan bahwa Indonesia adalah ’anak sah’ yang dilahirkan dari ormas-ormas Islam," katanya.
Gus Yusuf mengemukakan berbagai paham, pemikiran, dan aliran telah mengisi ruang publik pada era reformasi sejak 1998, bahkan aliran fundamentalis muncul karena keterbukaan pada era reformasi, sehingga terjadi tarik menarik paham, aliran, dan pikiran.
Ia menyatakan, era keterbukaan dikawatirkan mencabut akar kebudayaan dan kearifan lokal yang dibangun secara turun temurun antara lain oleh para ulama.
Saat ini, katanya, butuh kesadaran bersama termasuk kalangan pemuda untuk melakukan perlawanan baik secara kultural maupun intelektual terhadap gerakan tertentu yang ingin mengancam keutuhan NKRI dan dasar negara Pancasila.
"Harapan kepada teman-teman muda, mungkin kalau para kiai sepuh cenderung kompromis dan permisif, yang muda harus tetap waspada agar tidak terlena. Kesadaran bersama itu harus melalui komunikasi dan saling membagi informasi," katanya.Selain itu, katanya, juga untuk menjaga kelangsungan Islam yang ramah dan menjadi rahmat bagi semua di Indonesia.
Ia juga menyatakan pentingnya masyarakat mendapatkan pendidikan politik dasar tentang kedaulatan rakyat melalui berbagai kesempatan.
Rakyat, katanya, bisa memilih bupati, gubernur, presiden tetapi rakyat juga bisa menurunkan atau mengganti mereka. "Namun sebaliknya mereka tidak bisa memecat, mengusir rakyat, karena rakyatlah yang berdaulat," katanya.
No comments:
Post a Comment