Pernahkah kita melihat mata seorang seniman yang sedang mengamati keindahan alam ? Atau mata sutradara kawakan yang sedang melihat realitas sosial ? atau mata pemain bola professional yang sedang melihat datangnya bola ? Mata mereka tidak melotot, melainkan memandang dengan antusiasme yang tinggi. Mereka seperti sedang mendapatkan sesuatu yang sangat berharga bagi hidupnya. Penuh kekaguman memandangnya.
Yang paling jelas adalah mata anak kecil. Mata anak kecil adalah mata yang penuh kekaguman akan segala sesuatu yang dilihatnya. Semuanya serba baru dan mengagumkan bagi mereka. Matanya yang jernih terbuka lebar memandang segala yang ada di hadapannya, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan tentu saja orang tua, terutama ibunya dan orang-orang yang berada di hadapannya. Bahkan, saat mereka memandang balon, mainan, dan apa pun yang ditangkap matanya, mata mereka benar-benar menunjukkan kekaguman. Mungkin juga dalam arti ini, Si Bijak dari Nazareth pernah mengatakan, bahwa jika kita tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil, kita tidak akan masuk ke dalam kerajaan Allah. Di sini makna “bertobat” berarti mengembalikan kekaguman terhadap segala ciptaan Allah, baik alam maupun manusianya, seperti ketika kita masih menjadi anak kecil dan melihat segala sesuatu secara baru.
Tahukah kita, bahwa kekaguman merupakan bagian integral dari ungkapan cinta ? Tahukah kita, bahwa dari matalah rasa cinta terpancar dengan jelas ? Apalah artinya rasa cinta tanpa kekaguman. Tanpa kekaguman, ungkapan cinta menjadi amat hambar dan kering. Kalau kita ingin menguji cinta seseorang, amatilah matanya. Kita akan menemukan suatu kesan yang mendalam, apakah kita sedang berhadapan dengan orang yang mencintai atau acuh tak acuh. Bukankah cinta murni sepasang muda-mudi biasanya juga berawal dari kekaguman memandang, entah menyangkut sifat-sifat atau kemampuan yang ditunjukkan oleh kekasihnya, atau mungkin hanya sekedar penampilan fisik ? kekaguman memiliki daya tarik yang luar biasa, yang membuat anak-anak muda berani melanggar larangan orang tuanya untuk keluar malam. Bahkan mereka berani melompati jendela kamarnya, membolos sekolah, berbohong dengan orang tuanya atau gurunya, untuk menemui orang yang dikaguminya, dicintainya.
Hilangnya kekaguman biasanya mulai dari rasa bosan karena sering melihat. Hilangnya kekaguman sering juga disebabkan karena yang dialaminya dari dekat bersama orang yang dikagumi bertentangan dengan apa saja yang membuatnya kagum selama ini. Rasa bosan adalah musuh kekaguman, karena rasa bosan sering membuat kita ‘buta’ melihat apa yang pernah mengundang decak kagum kita. Namun, kita semua tahu, bahwa rasa bosan bukanlah sesuatu yang berlangsung lama. Biasanya dalam waktu yang relative singkat rasa bosan itu hilang dengan sendirinya.
Kekaguman itu sendiri akan berjuang melawan rasa bosan. Hanya soalnya kerapkali kita sendiri menikmati rasa bosan itu, bahkan cenderung buru-buru mengambil kesimpulan, “Aku sudah bosan !” Kalau kita bertindak netral, tanpa memihak, artinya membiarkan rasa bosan muncul dan membiarkan kekaguman mengembalikan kita pada kondisi semula, maka kekaguman akan dengan sendirinya mengatasi rasa bosan itu. Biarlah semuanya berjalan secara alami, maka kekaguman akan bertahan.
Kita bisa belajar dari alam untuk membuat daya kekaguman akan semakin kuat.Silakan menggunakan budi kita secara murni, artinya tanpa apriori berani memandang sesuatu untuk memahami. Pandanglah setangkai bunga yang sedang mekar pada pohonnya.
Lihatlah, betapa banyak bagian-bagian bunga itu. Ada kepala putik, benang sari, kelopak bunga beserta warna warni yang khas. Pandanglah terus bunga itu, dan biarkanlah budi kita memahami dengan caranya sendiri. Kita akan segera merasakan, bahwa bukan kita yang sedang memandang bunga itu, melainkan bunga itulah yang sedang memandang kita. Seakan-akan kita sedang merasakan intusisi pemahaman alami yang sangat kuat, bahwa bunga itu ‘sadar’ kalau sedang kita pandang, maka ingin menunjukkan segala keindahannya di depan mata kita. Angin datang menggoyang sedikit bunga itu, seakan-akan si bunga ingin mengatakan, bahwa dirinya hidup seperti kita.
( Adrian Pristio, O.Carm )
No comments:
Post a Comment